Sabtu, 16 Januari 2016

Analisa Ekologis Cerpen

Analisis Kajian Pendekatan Ekologis Dalam Cerpen
“Pematung tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”
Karya Raudal Tanjung Banua

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi
Pengampu: Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd


Dibuat oleh:
Kelompok
                                    Nama Anggota :
                                                                      1.          Dian Noviani                                114050210
                                                                      2.          Ersanti                                          114050092
                                                                      3.          Fitria Anggraeni Suyatno             114050158
                                                                      4.          Ika Yuliatul jannah                       114050202
                                                                      5.          Widhiana Nurul Khotimah           114050159

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2015

Jalan Perjuangan No. 01 Telp (0231) 482115, 487249
Cirebon 45132




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmat-Nya, sehingga penulisan tugas analisis cerpen ini dapat terselesaikan.
Tugas ini berjudul Analisis Kajian Pendekatan Ekologis Dalam Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” Karya Raudal Tanjung Banua. Dengan tujuan penulisan sebagai sumber bacaan yang memperdalam pemahaman isi dari materi ini.
Selain itu, penulisan tugas ini tidak lepas dari tugas mata kuliah Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Penulis juga sangat dibantu dengan teknologi modern “internet”, serta penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari Ibu Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Penulis cukup menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun.

                                      
                                                                           Cirebon,     Desember 2015

                                                                                            Penulis





DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………...  i
Daftar Isi…………………………………………………………………………...   ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang………………………………………………………………..  1
1.2         Rumusan Masalah……………………………………………….……………  1
1.3         Tujuan Pembahasan…………………………………………………….…….  2
1.4         Landasan Teori……………………………………………………………….  2
1.5         Metode………………………………………………………………………..  2

BAB II PEMBAHASAN
2.1         Cerpen “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”…………………….....  4
2.2         Analisis Cerpen “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”………….…..  9

BAB III PENUTUP
3.1         Kesimpulan………………………………………………………………….    14
3.2         Saran………………………………………………………………………...    14


BAB I
PENDAHULUAN
   1.1            Latar Belakang
Karya sastra adalah suatu karya yang berbentuk ekspresi dan sangat berkaitan dengan kebudayaan yang memiliki nilai tersendiri di kehidupan masyarakat umum. Hadirnya suatu bentuk karya sastra merupakan perwujudan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dinikmati, dimanfaatkan dan dipahami oleh masyarakat tersebut. Dalam kehidupan sebuah sastra sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Salah satu dari karya jenis karya sastra adalah cerpen, cerpen merupakan jenis cerita pendek yang isinya berupa kisah nyata maupun tidak nyata yang dituangkan penulis melalui karya sastra yang bernilai tinggi. Sebab dengan adanya karya sastra dapat memberikan pengetahuan, hiburan, mengembangkan imajinasi dan memberikan pengalaman sehingga pembaca akan larut ke dalam isi cerita tersebut.
Karya sastra cerpen yang mengkaji ekologis atau ekokritik di ciptakan untuk memberikan pengetahuan kepada seluruh masyarakat mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

  1.2            Rumusan Masalah
Permasalahan yang terdapat di dalam cerpen ini tampak pada saat Motingho yang merupakan pematung tradisional dari Lembah Basebah ingin menciptakan sebuah patung gadis tradisional yang lekat dengan ciri khas gadis lugu dan memiliki kecantikan alami, akan tetapi model yang dahulu setia hingga tidak lagi setia terhadap sang pematung tua tersebut.




  1.3            Tujuan Pembahasan
Tujuan penulis membuat laporan analisis ini adalah untuk menganalisis dan memahami makna yang terkandung di dalam cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”, karya Raudal Tanjung Banua.

  1.4            Landasan Teori
Ecocriticism merupakan disiplin ilmu baru. Studi ini berkaitan tentang sastra dan ekologi (lingkungan) secara fisik. Material yang diterbitkan selain karya sastra (ekosastra dan eko-puisi) studi ini juga mengulas kritik sastra lingkungan serta melakukan berbagai penelitian objek yang ada kaitannya dengan ecocritism.
Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003: 1).
Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003: 1).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (pada cerpen ini) menggunakan ekokritik yang menjelaskna bagaiana alam, lingkungan hidup, dengan hubungannya dengan manusia.

  1.5            Metode
Penggunaan analisis cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan, karya Raudal Tanjung Banua ini adalah menggunakan metode deskriptif atau dengan menganalisis isi cerpen. Metode analisis isi yang digunakan untuk mengetahui makna isi dari suatu cerpen karya Raudal Tanjung Banua ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tugas ini adalah mencari dari sumber internet yang selanjutnya dianalisis sesuai dengan pendekatan ekokritik atau ekologi. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis adalah membaca isi cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” secara berulang-ulang, mencari dan menyimpan kalimat yang menunjukkan nilai yang berhubungan antara manusia dengan lingkungan.
Dalam tahapan pengkajian data, penulis mengawali dengan mengkaji hal-hal yang menunjukkan adanya fakta-fakta tentang teori ekokritisisme yaitu bagaimana aspek lingkungan dengan manusia saling berkaitan seperti alam, desa, sungai, dan kondisi perempuan di Lembah Basebah, bagaimana gugatan terhadap persoalan ekologis seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan dan lingkungan sekitar, serta pembongkaran ideologi pengarang dalam memahami alam dan keindahannya serta tempat pengarang memosisikan dirinya.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Isi  Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”, karya Raudal Tanjung Banua.
Motingho dari Lembah Basebah di kenal sebagai pematung tradisional yang patung-patungnya khas perempuan. Dulu, patung-patung Motingho dengan mudah diciptakan, sebab berangkat sepenuhnya dari sosok perempuan-perempuan kampung yang sederhana dan bersahaja. Ia memang gampang takjub dan terpesona oleh hal-hal kecil, segala kesederhanaan, yang baginya memancarkan cahaya hidup. Apalagi perempuan-perempuan Lembah Basebah adalah tipe perempuan yang suka bekerja daripada bicara. Bekerja apa saja, sesuai keadaan alam Lembah Basebah, menyemai benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur, atau mendulang emas di sungai kecil di ujung kampung.
Ya, perempuan Lembah Basebah memang tipe perempuan pekerja. Jarang sekali mereka mau menghabiskan hari dengan mencari kutu di tangga atau jenjang rumah sambil bergunjing menyebut nama-nama. Tidak. Mereka lebih senang menghabiskan hari di sawah-ladang, berangkat pagi-pagi benar, dan pulang di kala petang, saat matahari hampir terbenam. Bahkan tak ada waktu untuk berdandan. Barangkali saja mereka tak punya ruang rias, bahkan mungkin sepotong cermin, buat mematut diri. Paling hanya di tepian yang berair jernih mereka sesekali iseng menatap diri, atau di telaga sehabis lelah bekerja.
Dari kehidupan perempuan macam itulah Motingho menimba ilham dan inspirasi. Bagai mata air yang tidak pernah kering. Patung-patungnya mengandung nilai kesederhanaan, ketabahan, juga kepasrahan. Maka, lihatlah, betapa wajah-wajah patung Motingho penuh rona bersahaja, namun mempesona: bibir yang alami, bulu mata yang lentik, dan rambut tersanggul apa adanya. Kadang tergerai lepas, bagai terkibar angin lembah. Tidak ada yang berlebihan, atau dilebih-lebihkan. Semuanya tampak wajar.
Termasuk soal kecantikan. Dalam kesederhanaan, kecantikan terasa lebih abadi. Jadilah patung Motingho tidak sekadar antik, namun juga cantik. Apapun bahannya -- kayu, semen, fiberglass, tanah liat, sabut kelapa, kulit kayu, jerami, apapun -- asal diolah tangan Motingho, pasti menawan. Pinggul yang ramping, payudara busung padat berisi, betis bagai padi bunting, dan leher yang jenjang, menjadi ciri khas patung-patung Motingho.
Banyaklah orang datang untuk ''meminang'' (harap maklum, di Lembah Basebah, tidak dikenal istilah membeli); sehingga patung-patung perempuan Motingho tersebar ke mana-mana. Dan karena dipekerjakan sepenuh jiwa, maka tak heran patung-patung itu bagai hidup dan bergairah; patuh mengabdi, pasrah-berserah, dan tahu diri.
***
Demikianlah, kini Motingho sudah tua. Sementara Lembah Basebah makin nyata berubah. Alamnya yang indah dan tradisinya yang menawan (dengan upacara-upacara eksotik) membuat banyak orang bagai menyerbu tempat itu. Mula-mula mereka cukup datang semalam dua malam dan pulang membawa oleh-oleh patung perempuan Lembah Basebah karya Motingho, si maestro, ataupun patung-patung tiruan serupa.
Namun lambat-laun, banyak di antara pengunjung memutuskan untuk tinggal menetap. Sejak itu, banyak villa didirikan. Lalu rumah-rumah mewah. Lalu jalanan yang bersimpang siur. Pertokoan yang bertingkat-tingkat. Dan pasar seni yang diperbesar.
Kini, Lembah Basebah telah menyatu sepenuhnya dengan kota, bahkan telah menjadi kota. Tak ada lagi tapal batas, seperti dulu dipelihara dan dirawat, sebuah patung perempuan dalam gaya tradisional, berkemben, dengan keranjang sayur-mayur di punggung, dulu masih akan menyambut kedatangan siapa saja. Itulah tanda bahwa Anda telah memasuki wilayah Lembah Basebah, yang terkenal dengan perempuan-perempuannya yang rajin, ramah, sederhana, dan tentu juga cantik. Dan maestro Motingho menuangkannya ke dalam wujud patung yang berjiwa dan hidup. Tapi, patung di tapal batas itu sudah lama tidak ada. Entah tergusur dan lenyap ke mana.
Lembah Basebah kini sudah sedemikian padatnya. Bagai wilayah tak berpeta, membuat siapapun gampang tersesat mencari nama dan alamat yang barangkali telah berubah. Perempuan-perempuannya sudah banyak yang beralih pekerjaan; di art-shop, kafe, lapangan golf, restoran, supermarket, menjadi guide dan entah apalagi. Hanya sebagian kecil yang masih bekerja di sawah, ladang atau tambang. Sebagian lain tersingkir hidup ke perantauan atau ikut program transmigrasi. Apa boleh buat. Maka tak perlu diragukan lagi, hal itu membuat Motingho yang telah kakek-kakek kehilangan mata air imajinasi. Dan tanpa imajinasi, seorang seniman sejati tentu akan mati, bukan?
Begitulah, kakek Motingho merasakan ajalnya sudah dekat. Tapi sebelum hari yang dinanti itu datang, kakek Motingho memutuskan untuk menyendiri. Satu saja keinginannya: menciptakan patung perempuan yang belum pernah ia bikin sebelumnya. Dan ia bertekad, patung itu harus selesai sebelum hidupnya kiamat.
Maka menyendirilah ia ke sebuah rumah paling tersuruk di ujung lembah, bersama seorang inang, perempuan muda yang sekaligus akan menjadi model terakhirnya. Kalau dulu Motingho dengan gampang mengambil perempuan-perempuan tradisional sebagai modelnya, sekarang apa boleh buat, ia terpaksa memilih Molinggih, perempuan muda yang mengagumi dirinya sendiri. Sering Motingho mendapati Molinggih mematut diri di depan cermin, atau di bening air kolam, hanya untuk memastikan apakah rambutnya telah lurus. Tentu, karena sesiang tadi -- ketika Motingho tertidur letih -- Molinggih telah diam-diam pergi ke salon meluruskan rambutnya yang ikal.
''Agar aku cantik-sempurna, agar tercipta patung perempuan paling cantik yang belum pernah diciptakan sebelumnya dari model-model kuno tuan Motingho,'' kata Molinggo di salon itu tadi.
''Benar nona Molinggih, untuk patung yang teramat cantik, modelnya pun mesti cantik. Rambut mesti lurus, kulit putih tak boleh keriput...,'' celoteh tukang salon yang bergaya menor.
''Ya, jangan keriting seperti mie dan jangan gosong terbakar seperti perempuan Basebah tempo doeloe,'' sambung Molinggih ingin tertawa terbahak, tapi segera sadar bahwa perempuan cantik tak boleh tertawa seenaknya.
Begitulah, sementara Molinggih sering mencuri waktu dengan pergi diam-diam, kakek Motingho yang mulai rabun itu kian putus asa mencipta sebuah patung dari model yang ia pilih. Ia selalu mendapatkan Molinggih selalu dalam keadaan berubah. Rambutnya yang dulu keriting sekarang sudah lurus. Kulitnya yang dulu agak hitam, entah bagaimana caranya kini putih mulus. Kuku-kukunya berwarna-warni bagai ketumpahan cat warna pelangi. Bulu matanya tebal hitam seperti ulat bulu di daun talas. Bibirnya merah menyala, dan ditindik pula pakai suasa. Dan semua itu berubah dalam waktu singkat. Teramat singkat. Bagaimanakah Motingho harus mewujudkannya dalam sebuah karya-cipta yang tetap?
Berkali-kali Motingho membuka-pasang kacamatanya, meyakinkan pandangannya apakah ia yang salah lihat. Tapi tidak. Molinggih benar-benar sudah berubah, sebagaimana perempuan kebanyakan yang gampang ditemukan di mall dan plaza. Sungguh, Motingho merasa putus asa. Ia sengaja dulunya memilih Molinggih sebagai modelnya karena gadis itu masih menyisakan suaka imajinasi bagi perempuan kampung yang sederhana. Tapi, semuanya berubah dalam waktu singkat. Molinggih, model yang ia harapkan setia kini tak lagi setia. Perempuan itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Jauh di dalam hati, ingin sekali Motingho memecat perempuan tak tahu diri itu, dan mengusirnya pergi jauh-jauh. Tapi sudah tak mungkin. Dalam hidupnya yang sudah pikun (dan di ambang ajal), hanya Molinggih orang satu-satunya yang ia harapkan sebagai pendamping, sekaligus model terakhir. Sedangkan orang lain sudah tidak peduli. Ke-maestro-an dirinya bagai terkubur hingar-bingar kota Basebah yang terus berpacu tubuh.
Tapi Motingho tak mau menyerah. Berhari-hari, berbulan-bulan, patung itu ia kerjakan. Dan tak jadi-jadi. Sampai suatu ketika, di antara sesak nafasnya (pertanda ajal segera tiba), tangannya yang lemah berhasil mencipta sesosok perempuan yang baginya teramat mempesona. Saking terpesonanya ia, seolah nyawa yang sudah meloncat dari badannya, berbalik kembali (lewat matanya yang bercahaya), hanya untuk menyaksikan buah karya terakhirnya itu. Barangkali malaikat pencabut nyawa pun terpesona sehingga memberi kesempatan bagi Motingho untuk mengelus-elus buah karya terakhirnya itu.
''Oh, ajaib, masterpiece, Molinggih, lihatlah kemari. Telah tercipta patung terbaik di tanganku meski belum sepenuhnya selesai!'' Sisa tenaganya dipergunakan memanggil Molinggih. Perempuan itu datang tergesa, dan betapa terkejutnya ia. Matanya terbelalak. Marah dan kecewa. Ditatapnya patung perempuan berkulit hitam, berambut keriting dan teramat gemuk itu. Ia tersinggung, sungguh tersinggung!
''Oh, tuan Motingho benar-benar sudah pikun. Ini bukan patung tercantik yang pernah saya lihat, tuan mempermalukan saya.''
''Molinggih, dengar! Saya tidak menciptakan patung tercantik, tapi patung terbaik!'' Motingho terbatuk. Makin keras. Tubuhnya terguncang, lalu rebah. Tapi matanya memancarkan sinar bahagia. Betapa ia sudah menciptakan patung terbaik menurut seleranya. Malaikat pun pasti merestui, menyetujui, meski tidak Molinggih.
Perempuan itu malah sangat kecewa. Karenanya, Molinggih hanya mencium sedikit saja pelupuk mata Motingho yang terkatup dengan bulu-bulu putih itu, sekadar basa-basi, lalu seperti tak hirau pada kematian itu ia berlari menuju kolam. Berkaca. Merasa sia-sia. Dari tubuhnya yang cantik, ternyata hanya lahir sebuah patung gemuk, berkulit hitam kisut dan rambut keriting. Ia kecewa. Ia lari ke pinggir telaga. Berkaca dan menangis sampai tiba purnama. Dan kekecewaanlah yang membuatnya memutuskan terjun ke dalam telaga, bagai hendak meraih bulan di jauh dasar. Dan terbenam. Tapi arwahnya menyusup diam-diam ke dalam patung perempuan yang belum selesai diciptakan. Perempuan yang akan selalu menyempurnakan kecantikannya, gentayangan dari plaza ke plaza, salon, dan etalase kota. Tentu, sesekali, ia akan menyapa Anda, atau Anda yang menyapa mereka. Terserah.
(Cerita kangen untuk Ole, Riki, Pak Doel, dan Pak Agus Darminto)
Rumahlebah Yogyakarta


2.2         Analisis Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”, karya Raudal Tanjung Banua.
Pada cerpen yang berjudul “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” karya Raudal tanjung Banua ini menceritakan seorang pemahat Motingho yang tinggal di sebuah desa bernama Lembah Basebah. Di desa tersebut masyarakat sangat bergantung dengan keadaan alam yang ada, terutama bagi para perempuan. perempuan yang tinggal di desa Lembah Basebah sangat pandai memanfaatkan kekayaan alam yang ada seperti menyemai benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur, sampai pekerjaan yang biasa di lakukan oleh kaum laki-laki seperti mendulang emas di sungai, seperti pada kutipan berikut:

Apalagi perempuan-perempuan Lembah Basebah adalah tipe perempuan yang suka bekerja daripada bicara. Bekerja apa saja, sesuai keadaan alam Lembah Basebah, menyemai benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur, atau mendulang emas di sungai kecil di ujung kampung.
Perempuan yang tinggal di daerah tersebut di ceritakan, tipe perempuan yang tidak seperti perempuan-perempuan pada umumnya yang  banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat salah satunya seperti menggosip, mencari kutu, atau menghabiskan uang suami dengan berbelanja pakaian sampai alat mak-eup di mall-mall. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang tinggal di daerah Lembah Basebah yang lebih senang menghabiskan banyak waktu dengan kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang sangat bermanfaat. Untuk bercermin saja para perempuan Lembah Basebah hanya memanfaatkan  air yang berada di tepian telaga. Aktivitas yang biasa di mulai para perempuan Lembah Basebah adalah dari pagi hingga saat matahari hampir terbenam. Seperti pada kutipan:
Ya, perempuan Lembah Basebah memang tipe perempuan pekerja. Jarang sekali mereka mau menghabiskan hari dengan mencari kutu di tangga atau jenjang rumah sambil bergunjing menyebut nama-nama. Tidak. Mereka lebih senang menghabiskan hari di sawah-ladang, berangkat pagi-pagi benar, dan pulang di kala petang, saat matahari hampir terbenam. Bahkan tak ada waktu untuk berdandan. Barangkali saja mereka tak punya ruang rias, bahkan mungkin sepotong cermin, buat mematut diri. Paling hanya di tepian yang berair jernih mereka sesekali iseng menatap diri, atau di telaga sehabis lelah bekerja.
Di gambarkan pada cerpen ini, perempuan-perempuan Lembah Basebah memiliki kecantikan alami sehingga seorang pemahat tua memiliki keinginan untuk membuat patung yang terbuat dari kayu, semen, tanah liat, kulit kayu, jerami sehingga memiliki ciri khas yang berbeda dengan patung-patung lain. Jika dikaitkan dengan pendekatan ekologis atau ekokritik yaitu hubungan sang pemahat yang menggunakan hasil dari kekayaan alam untuk di jadikan sebuah karya. Seperti pada kutipan:
Termasuk soal kecantikan. Dalam kesederhanaan, kecantikan terasa lebih abadi. Jadilah patung Motingho tidak sekadar antik, namun juga cantik. Apapun bahannya - kayu, semen, fiberglass, tanah liat, sabut kelapa, kulit kayu, jerami, apapun  asal diolah tangan Motingho, pasti menawan. Pinggul yang ramping, payudara busung padat berisi, betis bagai padi bunting, dan leher yang jenjang, menjadi ciri khas patung-patung Motingho.
*
Namun lambat-laun, banyak di antara pengunjung memutuskan untuk tinggal menetap. Sejak itu, banyak villa didirikan. Lalu rumah-rumah mewah. Lalu jalanan yang bersimpang siur. Pertokoan yang bertingkat-tingkat. Dan pasar seni yang diperbesar.
Kini, Lembah Basebah telah menyatu sepenuhnya dengan kota, bahkan telah menjadi kota. Tak ada lagi tapal batas, seperti dulu dipelihara dan dirawat, sebuah patung perempuan dalam gaya tradisional, berkemben, dengan keranjang sayur-mayur di punggung, dulu masih akan menyambut kedatangan siapa saja. Itulah tanda bahwa Anda telah memasuki wilayah Lembah Basebah, yang terkenal dengan perempuan-perempuannya yang rajin, ramah, sederhana, dan tentu juga cantik. Dan maestro Motingho menuangkannya ke dalam wujud patung yang berjiwa dan hidup. Tapi, patung di tapal batas itu sudah lama tidak ada. Entah tergusur dan lenyap ke mana.
Pada kutipan di atas di jelaskan mengenai perubahan yang terjadi saat Lembah Basebah yang masih dihuni hanya beberapa penduduk dengan saat ini yang telah banyak pendatang. Perubahan yang mencolok adalah banyak di bangun rumah-rumah mewah, jalanan yang semakin banyak, dan pertokoan yang bertingkat. Sehingga pengarang menggabarkan kerinduannya terhadap sebuah desa yang bergaya tradisional.
Demikianlah, kini Motingho sudah tua. Sementara Lembah Basebah makin nyata berubah. Alamnya yang indah dan tradisinya yang menawan (dengan upacara-upacara eksotik) membuat banyak orang bagai menyerbu tempat itu. Mula-mula mereka cukup datang semalam dua malam dan pulang membawa oleh-oleh patung perempuan Lembah Basebah karya Motingho, si maestro, ataupun patung-patung tiruan serupa.
Pada kutipan di atas di gambarkan bahwa dengan berjalannya waktu banyak perubahan yang terjadi di daerah Lembah Basebah, yang mulanya masih sangat alami dan masih di huni beberapa penduduk namun kini banyak pendatang yang kemudian menjadi penduduk tetap Lembah Basebah. Lembah Basebah memiliki alam yang indah dan tradisi yang masih kental.
Dahulu perempuan hanya menjalankan aktivitas di ladang, kini para perempuan banyak yang beralih pekerjaan. Hanya beberapa perempuan saja yang masih tetap bekerja di ladang, sawah atau tambang. Dengan banyaknya perubahan membuat sang pemahat Motingho sulit untuk menemukan inspirassi untuk pembuatan patung yang masih serba alamiah atau natural. Seperti pada kutipan berikut:
Lembah Basebah kini sudah sedemikian padatnya. Bagai wilayah tak berpeta, membuat siapapun gampang tersesat mencari nama dan alamat yang barangkali telah berubah. Perempuan-perempuannya sudah banyak yang beralih pekerjaan; di art-shop, kafe, lapangan golf, restoran, supermarket, menjadi guide dan entah apalagi. Hanya sebagian kecil yang masih bekerja di sawah, ladang atau tambang. Sebagian lain tersingkir hidup ke perantauan atau ikut program transmigrasi. Apa boleh buat. Maka tak perlu diragukan lagi, hal itu membuat Motingho yang telah kakek-kakek kehilangan mata air imajinasi. Dan tanpa imajinasi, seorang seniman sejati tentu akan mati, bukan?
Di ceritakan suatu ketika saat pemahat tua itu merasakan bahwa usianya tidak akan lama lagi, hingga ia berkeinginan untuk membuat patung terakhir yang sesuai dengan yang ia inginkan dengan menggunakan seorang gadis cantik yang masih alami, namun karena gadis tersebut menginginkan hasil patung dirinya sempurna hingga akhirnya gadis tersebut perlahan mengubah semua yang terdapat di dalam dirinya. Hingga sang Motingho tidak lagi mengenali gadis tersebut. Semakin cantiknya Molinggih tidak berarti Molingho menyukai penampilannya, Molingho tetap menyukai penampilan Molinggih yang alami dan apa adanya.
Molingho tetap membuat patung yang sesuai keinginannya yaitu membuat patung yang berkulit hitam, gemuk, berambut kriting. Molinggih sangat terkejut melihat hasil patung sang pemahat hebat tersebut, ia merasa kecewa hingga akhirnya ia berlari ke pinggir telaga kemudian berkaca. Karena kekecewaannya terhadap hasil patung terssebut ia kemudian terjun ke dalam telaga.
Perempuan itu malah sangat kecewa. Karenanya, Molinggih hanya mencium sedikit saja pelupuk mata Motingho yang terkatup dengan bulu-bulu putih itu, sekadar basa-basi, lalu seperti tak hirau pada kematian itu ia berlari menuju kolam. Berkaca. Merasa sia-sia. Dari tubuhnya yang cantik, ternyata hanya lahir sebuah patung gemuk, berkulit hitam kisut dan rambut keriting. Ia kecewa. Ia lari ke pinggir telaga. Berkaca dan menangis sampai tiba purnama. Dan kekecewaanlah yang membuatnya memutuskan terjun ke dalam telaga, bagai hendak meraih bulan di jauh dasar. Dan terbenam. Tapi arwahnya menyusup diam-diam ke dalam patung perempuan yang belum selesai diciptakan. Perempuan yang akan selalu menyempurnakan kecantikannya, gentayangan dari plaza ke plaza, salon, dan etalase kota. Tentu, sesekali, ia akan menyapa Anda, atau Anda yang menyapa mereka. Terserah.





BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Setelah mengkaji melalui pendekatan ekologis atau ekokritik, maka  dapat disimpulkan bahwa ekosistem dan alam memiliki ruang tersendiri dalam kajian sastra seperti yang telah dijelaskan bahwa alam memiliki keterkaitan dan hubungan dengan tokoh-tokoh dalam cerpen “Perempuan yang belum Selesai Diciptakan” karya Raudal tanjung banua dipandang dari tiga aspek; terbukti bahwa dalam cerpen tersebut secara jelas penulis telah menggabungan antara manusia dan alam, baik dengan memberikan penjelasan perbandingan, maupun hubungan keduanya. Pada bagian akhir cerita, penulis  menceritakan bahwa tokoh utama kembali menemukan jati dirinya dan keindahan yang sejati lewat pahatan terakhirnya yang benar-benar cantik bukan hanya dari luar tetapi juga dalam. Pahatan yang dibuat oleh tokoh utama  sesuai dengan yang tokoh utama inginkan serta memberi pesan bahwa keindahan alam yang alami merupakan sebenar-benarnya keindahan dan bukan keindahan yang dibuat-buat dengan berbagai macam polesan dan tipuan.

3.2         Saran

Untuk mempelajari sebuah karya sastra dengan metode tertentu memang tidak mudah, akan tetapi kita harus mampu membaca makna yang terkandung di dalam isi karya sastra tersebut. Untuk itu cara yang mudah untuk mencari makna dari sebuah cerita, maka harus di lakukan cara analisis.

Kakek dan Sandal Butut

        Kala orang masih terlelap di bawah alam sadar, sang fajar pun masih terlihat malu untuk menampakkan sinarnya akan tetapi seorang kakek sudah terlihat siap berangkat dengan memanggul karung dan berkeliling ke tempat-tempat yang menurut sebagian orang adalah tempat menjijikkan namun berbeda dengan pendapat kakek paruh baya tersebut sebab dari tempat itulah ia mampu membelikan makanan untuk keluarganya, ya tempat sampah adalah tempat di mana sang kakek selalu menyinggahkan kaki, dengan kecepatan tangannya untuk mengambil barang-barang bekas yang masih laku untuk dijual kembali.
            Tampak garis-garis kasar di muka dan bagian tubuh lainnya, tampak juga sayu matanya yang memerah karena sering berada di bawah sengatan sinar matahari, tubuhnya kurus bagai satu potong sapu lidi. Terlihat lelah di wajahnya,  namun tidak sedikitpun ia mengeluh karena kehidupan yang ia jalani.
            Langkahnya yang terseok-seok menelusuri jalanan panjang Kota Cirebon yaitu kota kecil namun sangat kental akankekeluargaan dan  keberagaman budaya serta adat istiadatnya. Sang kakek selalu melalui jalanan panjang tersebut hanya dengan sandal butut, sandal itu bagai warna pelangi karena bagian kanan berwarna merah dan bagian kiri berwarna kuning. Baju yang ia kenakan tidak terlihat sedikitpun adanya kemewahan di hidupnya. Ia sangat bersahabat dengan debu jalanan dan aroma tidak sedap yang berasal dari tempat di mana ia mencari sesuatu yang ingin ia temukan.
***
            Sang surya kini tampak berada tepat di atas kepala. Ia berlalu untuk mencari tempat teduh untuk hanya sekedar merebahkan tubuh kurusnya dan satu karung yang belum terisi penuh dan ia mendapatkan tempat itu, pohon besar yang sangat lebat daunnya. Ia terduduk dengan lamunannya, tanpa ia sadari dibalik pohon itu terdapat anak kecil berusia sekitar 8 tahun yang masih lugu dan polos sedang memainkan bolanya.
            “Kakek sedang apa disini?”, sahut Ryan.
            Sambil mencari sumber suara, sang kakek menoleh ke balik pohon yang ia duduki saat itu.
            “Eh nak, ini kakek sedang istirahat. Mana teman-teman kamu nak, kok sendirian?”, balas kakek dengan senyum manis dibibirnya.
            “Aku ditinggal sama teman-teman aku kek, mereka sudah pergi ke lapang bola desa sebelah”, jawab Ryan dengan muka musam.
            “Kemari nak sini duduk di samping kakek”, ujar kakek.
Ryan pun bangun dari tempat duduknya, dan berjalan mendekati sang kakek. Keduanya terdiam beberapa saat, namun sang kakek terlihat memperhatikan wajah anak polos tersebut.
            “Kek, kakek itu di karung apa kek? Itu sandal kakek kenapa kok di peganging terus?”, tanya Ryan.
            Beberapa saat sang kakek hanya terdiam memandangi laki-laki kecil itu, dan ternyata melihat laki-laki kecil itu. Ternyata sang kakek teringan akan almarhum anaknya yang saat meninggal usia anaknya dengan laki-laki kecil itu sama. Hingga akhirnya sang kakek mencoba memulihkan kembali fikirannya.
            “Ini hasil kerja kakek nak. Sandal ini ya, barusan saat berjalan kemari sandal kakek putus jadi kakek coba buat memperbaikinya nak”, jawab kakek dengan sandal di tangannya.
            Terlihat raut muka bingung yang Ryan tampakkan saat itu, di dalam hatinya (Itu sandal sudah jelek, sudah tak layak untuk dipakai. Kenapa kakek  masih mau memperbaiki sandal itu, lagipula ukuran sandal itu tak sama warnanya pun berbeda. Kenapa kakek gak membeli yang baru saja, di toko pasti banyak sandal yang lebih bagus dari itu). Hingga Ryan memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut.
            “Kek, sandal kakek kan udah putus kenapa kakek gak beli yang baru saja? Walaupun sandal aku belum putus terkadang aku suka minta sama mamah buat beli sandal yang model terbaru kek, di rumah aku punya banyak sandal loh kek ada yang bergambang angry beards, ada yang bergambar upin-ipin, ada yang bergambar doraemon, ada yang bergambar naruto. Pokoknya masih banyak kek”, dengan polos Ryan menyebutkan berbagai koleksi gambar sandalnya.
            Sang kakek tidak langsung menjawab, sesekali ia mengelus kepala Ryan dengan senyum khasnya.
            “Nak jangankan untuk membeli sandal baru, untuk makanpun kadang kakek harus berhutang di warung. Kakek dengan mamahmu berbeda nak. Mamahmu bisa membelikanmu banyak sandal karena pasti papahmu orang pintar jadi papah kerjanya enak di kantor juga bersih, beda dengan kakek kerjaan kakek di tempat sampah mencari barang bekas dan kotor”, kakek menjawab dengan muka penuh ketulusan.
            “Oh begitu ya kek, jadi kita harus pintar dulu ya kek biar kita bisa membeli banyak sandal”, jawab Ryan polos.
            Sang kakek hanya tertawa kecil, ia paham sepanjang apapun ia menjelaskan pasti anak sekecil itu tidak akan mengerti apa yang ia maksud.
            “Iya nak, kamu harus jadi orang pintar kamu juga gak boleh bandel ya sama mamah dan papah kamu. Mereka pasti sayang banget sama kamu jadi kamu dibelikan banyak sandal”, jawab kakek.
            “Iya ya kek, aku juga sayang sama mamah dan papah kek. Aku janji kek bakalan jadi orang pintar. Biar nanti bisa membelikan sandal bagus buat mamah dan papah”, timpal Ryan.
            Sang kakek hanya tersenyum melihat kepolosan anak 8 tahun yang masih terlihat sangat lugu. Waktu terus berputar, kemudian kakek merasa obrolan mereka sudah terlalu lama akhirnya mereka saling berpamitan satu dengan yang lain, karena kakek harus melanjutkan untuk mencari barang bekas. Begitupun dengan Ryan, ia yang kali pertama jumpa dengan sang kakek dengan muka yang masam, kini ia pulang dengan wajah bahagia sebab Ryan telah mendapatkan nasehat agar ia harus Sekolah yang benar dan belajar yang rajin agar menjadi orang yang pintar.

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Unswagati Cirebon
Ersanti

Semester 3, Kelas 2 G