Analisis Kajian
Pendekatan Ekologis Dalam Cerpen
“Pematung tua
dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”
Karya Raudal Tanjung Banua
Diajukan
untuk memenuhi mata kuliah Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi
Pengampu:
Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd
Dibuat oleh:
Kelompok
Nama Anggota
:
1.
Dian
Noviani 114050210
2.
Ersanti 114050092
3.
Fitria
Anggraeni Suyatno 114050158
4.
Ika
Yuliatul jannah 114050202
5.
Widhiana
Nurul Khotimah 114050159
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2015
Jalan Perjuangan No. 01 Telp
(0231) 482115, 487249
Cirebon 45132
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt,
karena atas limpahan rahmat-Nya, sehingga penulisan tugas analisis cerpen ini dapat terselesaikan.
Tugas ini berjudul Analisis
Kajian Pendekatan Ekologis
Dalam Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” Karya Raudal Tanjung Banua. Dengan tujuan penulisan sebagai sumber bacaan yang
memperdalam pemahaman isi dari materi
ini.
Selain itu, penulisan tugas ini tidak lepas dari
tugas mata kuliah Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Penulis juga sangat dibantu
dengan teknologi modern “internet”, serta penulis telah banyak mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari Ibu Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Penulis cukup menyadari bahwa tugas ini jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
pembaca yang bersifat membangun.
Cirebon, Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar……………………………………………………………………... i
Daftar
Isi…………………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………….. 1
1.2
Rumusan Masalah……………………………………………….…………… 1
1.3
Tujuan Pembahasan…………………………………………………….……. 2
1.4
Landasan Teori………………………………………………………………. 2
1.5
Metode……………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Cerpen “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”……………………..... 4
2.2
Analisis Cerpen “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”………….….. 9
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan…………………………………………………………………. 14
3.2
Saran………………………………………………………………………... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Karya sastra adalah suatu karya yang
berbentuk ekspresi dan sangat berkaitan dengan kebudayaan yang memiliki nilai
tersendiri di kehidupan masyarakat umum. Hadirnya suatu bentuk karya sastra
merupakan perwujudan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dinikmati,
dimanfaatkan dan dipahami oleh masyarakat tersebut. Dalam kehidupan sebuah sastra
sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Salah satu dari karya jenis karya sastra
adalah cerpen, cerpen merupakan jenis cerita pendek yang isinya berupa kisah
nyata maupun tidak nyata yang dituangkan penulis melalui karya sastra yang
bernilai tinggi. Sebab dengan adanya karya sastra dapat memberikan pengetahuan,
hiburan, mengembangkan imajinasi dan memberikan pengalaman sehingga pembaca
akan larut ke dalam isi cerita tersebut.
Karya sastra cerpen yang mengkaji ekologis
atau ekokritik di ciptakan untuk memberikan pengetahuan kepada seluruh
masyarakat mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
1.2
Rumusan
Masalah
Permasalahan yang terdapat di dalam cerpen
ini tampak pada saat Motingho yang merupakan pematung tradisional dari Lembah
Basebah ingin menciptakan sebuah patung gadis tradisional yang lekat dengan
ciri khas gadis lugu dan memiliki kecantikan alami, akan tetapi model yang
dahulu setia hingga tidak lagi setia terhadap sang pematung tua tersebut.
1.3
Tujuan
Pembahasan
Tujuan penulis membuat laporan analisis ini adalah untuk
menganalisis dan memahami makna yang terkandung di dalam cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai
Diciptakan”, karya Raudal Tanjung Banua.
1.4
Landasan
Teori
Ecocriticism
merupakan disiplin ilmu baru. Studi ini berkaitan tentang sastra dan ekologi
(lingkungan) secara fisik. Material yang diterbitkan selain karya sastra
(ekosastra dan eko-puisi) studi ini juga mengulas kritik sastra lingkungan
serta melakukan berbagai penelitian objek yang ada kaitannya dengan ecocritism.
Ekokritik adalah kajian yang menghubungkan
karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan
belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan
kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003: 1).
Ekokritik memberikan perhatian terhadap
hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk
hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian
dalam ekologi (Love, 2003: 1).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa kajian terhadap karya sastra (pada cerpen ini) menggunakan
ekokritik yang menjelaskna bagaiana alam, lingkungan hidup, dengan hubungannya
dengan manusia.
1.5
Metode
Penggunaan analisis cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai
Diciptakan, karya Raudal Tanjung Banua
ini adalah menggunakan metode deskriptif atau dengan menganalisis isi
cerpen. Metode analisis isi yang digunakan untuk mengetahui makna isi dari
suatu cerpen karya Raudal Tanjung Banua ini. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam tugas ini adalah mencari dari sumber internet yang selanjutnya
dianalisis sesuai dengan pendekatan ekokritik atau ekologi. Adapun
langkah-langkah dalam menganalisis adalah membaca isi cerpen “Pematung Tua dan
Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” secara berulang-ulang, mencari dan
menyimpan kalimat yang menunjukkan nilai yang berhubungan antara manusia dengan
lingkungan.
Dalam
tahapan pengkajian data, penulis mengawali dengan mengkaji hal-hal yang menunjukkan
adanya fakta-fakta tentang teori ekokritisisme yaitu bagaimana aspek lingkungan
dengan manusia saling berkaitan seperti alam, desa, sungai, dan kondisi
perempuan di Lembah Basebah, bagaimana gugatan terhadap persoalan ekologis
seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan dan lingkungan sekitar,
serta pembongkaran ideologi pengarang dalam memahami alam dan keindahannya
serta tempat pengarang memosisikan dirinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Isi
Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan”, karya Raudal Tanjung Banua.
Motingho dari
Lembah Basebah di kenal sebagai pematung tradisional yang patung-patungnya khas
perempuan. Dulu, patung-patung Motingho dengan mudah diciptakan, sebab
berangkat sepenuhnya dari sosok perempuan-perempuan kampung yang sederhana dan
bersahaja. Ia memang gampang takjub dan terpesona oleh hal-hal kecil, segala
kesederhanaan, yang baginya memancarkan cahaya hidup. Apalagi
perempuan-perempuan Lembah Basebah adalah tipe perempuan yang suka bekerja
daripada bicara. Bekerja apa saja, sesuai keadaan alam Lembah Basebah, menyemai
benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur, atau
mendulang emas di sungai kecil di ujung kampung.
Ya, perempuan Lembah Basebah
memang tipe perempuan pekerja. Jarang sekali mereka mau menghabiskan hari
dengan mencari kutu di tangga atau jenjang rumah sambil bergunjing menyebut
nama-nama. Tidak. Mereka lebih senang menghabiskan hari di sawah-ladang,
berangkat pagi-pagi benar, dan pulang di kala petang, saat matahari hampir
terbenam. Bahkan tak ada waktu untuk berdandan. Barangkali saja mereka tak
punya ruang rias, bahkan mungkin sepotong cermin, buat mematut diri. Paling
hanya di tepian yang berair jernih mereka sesekali iseng menatap diri, atau di
telaga sehabis lelah bekerja.
Dari kehidupan
perempuan macam itulah Motingho menimba ilham dan inspirasi. Bagai mata air
yang tidak pernah kering. Patung-patungnya mengandung nilai kesederhanaan,
ketabahan, juga kepasrahan. Maka, lihatlah, betapa wajah-wajah patung Motingho
penuh rona bersahaja, namun mempesona: bibir yang alami, bulu mata yang lentik,
dan rambut tersanggul apa adanya. Kadang tergerai lepas, bagai terkibar angin
lembah. Tidak ada yang berlebihan, atau dilebih-lebihkan. Semuanya tampak
wajar.
Termasuk soal
kecantikan. Dalam kesederhanaan, kecantikan terasa lebih abadi. Jadilah patung
Motingho tidak sekadar antik, namun juga cantik. Apapun bahannya -- kayu,
semen, fiberglass, tanah liat, sabut kelapa, kulit kayu, jerami, apapun -- asal
diolah tangan Motingho, pasti menawan. Pinggul yang ramping, payudara busung
padat berisi, betis bagai padi bunting, dan leher yang jenjang, menjadi ciri
khas patung-patung Motingho.
Banyaklah orang
datang untuk ''meminang'' (harap maklum, di Lembah Basebah, tidak dikenal
istilah membeli); sehingga patung-patung perempuan Motingho tersebar ke
mana-mana. Dan karena dipekerjakan sepenuh jiwa, maka tak heran patung-patung
itu bagai hidup dan bergairah; patuh mengabdi, pasrah-berserah, dan tahu diri.
***
Demikianlah, kini Motingho
sudah tua. Sementara Lembah Basebah makin nyata berubah. Alamnya yang indah dan
tradisinya yang menawan (dengan upacara-upacara eksotik) membuat banyak orang
bagai menyerbu tempat itu. Mula-mula mereka cukup datang semalam dua malam dan
pulang membawa oleh-oleh patung perempuan Lembah Basebah karya Motingho, si
maestro, ataupun patung-patung tiruan serupa.
Namun
lambat-laun, banyak di antara pengunjung memutuskan untuk tinggal menetap.
Sejak itu, banyak villa didirikan. Lalu rumah-rumah mewah. Lalu jalanan yang
bersimpang siur. Pertokoan yang bertingkat-tingkat. Dan pasar seni yang
diperbesar.
Kini, Lembah
Basebah telah menyatu sepenuhnya dengan kota, bahkan telah menjadi kota. Tak
ada lagi tapal batas, seperti dulu dipelihara dan dirawat, sebuah patung
perempuan dalam gaya tradisional, berkemben, dengan keranjang sayur-mayur di punggung,
dulu masih akan menyambut kedatangan siapa saja. Itulah tanda bahwa Anda telah
memasuki wilayah Lembah Basebah, yang terkenal dengan perempuan-perempuannya
yang rajin, ramah, sederhana, dan tentu juga cantik. Dan maestro Motingho
menuangkannya ke dalam wujud patung yang berjiwa dan hidup. Tapi, patung di
tapal batas itu sudah lama tidak ada. Entah tergusur dan lenyap ke mana.
Lembah Basebah
kini sudah sedemikian padatnya. Bagai wilayah tak berpeta, membuat siapapun
gampang tersesat mencari nama dan alamat yang barangkali telah berubah.
Perempuan-perempuannya sudah banyak yang beralih pekerjaan; di art-shop, kafe,
lapangan golf, restoran, supermarket, menjadi guide dan entah apalagi. Hanya
sebagian kecil yang masih bekerja di sawah, ladang atau tambang. Sebagian lain
tersingkir hidup ke perantauan atau ikut program transmigrasi. Apa boleh buat.
Maka tak perlu diragukan lagi, hal itu membuat Motingho yang telah kakek-kakek
kehilangan mata air imajinasi. Dan tanpa imajinasi, seorang seniman sejati tentu
akan mati, bukan?
Begitulah,
kakek Motingho merasakan ajalnya sudah dekat. Tapi sebelum hari yang dinanti
itu datang, kakek Motingho memutuskan untuk menyendiri. Satu saja keinginannya:
menciptakan patung perempuan yang belum pernah ia bikin sebelumnya. Dan ia
bertekad, patung itu harus selesai sebelum hidupnya kiamat.
Maka
menyendirilah ia ke sebuah rumah paling tersuruk di ujung lembah, bersama
seorang inang, perempuan muda yang sekaligus akan menjadi model terakhirnya.
Kalau dulu Motingho dengan gampang mengambil perempuan-perempuan tradisional
sebagai modelnya, sekarang apa boleh buat, ia terpaksa memilih Molinggih,
perempuan muda yang mengagumi dirinya sendiri. Sering Motingho mendapati
Molinggih mematut diri di depan cermin, atau di bening air kolam, hanya untuk
memastikan apakah rambutnya telah lurus. Tentu, karena sesiang tadi -- ketika
Motingho tertidur letih -- Molinggih telah diam-diam pergi ke salon meluruskan
rambutnya yang ikal.
''Agar aku cantik-sempurna, agar
tercipta patung perempuan paling cantik yang belum pernah diciptakan sebelumnya
dari model-model kuno tuan Motingho,'' kata Molinggo di salon itu tadi.
''Benar nona Molinggih, untuk
patung yang teramat cantik, modelnya pun mesti cantik. Rambut mesti lurus,
kulit putih tak boleh keriput...,'' celoteh tukang salon yang bergaya menor.
''Ya, jangan keriting seperti mie
dan jangan gosong terbakar seperti perempuan Basebah tempo doeloe,'' sambung
Molinggih ingin tertawa terbahak, tapi segera sadar bahwa perempuan cantik tak
boleh tertawa seenaknya.
Begitulah,
sementara Molinggih sering mencuri waktu dengan pergi diam-diam, kakek Motingho
yang mulai rabun itu kian putus asa mencipta sebuah patung dari model yang ia
pilih. Ia selalu mendapatkan Molinggih selalu dalam keadaan berubah. Rambutnya
yang dulu keriting sekarang sudah lurus. Kulitnya yang dulu agak hitam, entah
bagaimana caranya kini putih mulus. Kuku-kukunya berwarna-warni bagai
ketumpahan cat warna pelangi. Bulu matanya tebal hitam seperti ulat bulu di
daun talas. Bibirnya merah menyala, dan ditindik pula pakai suasa. Dan semua
itu berubah dalam waktu singkat. Teramat singkat. Bagaimanakah Motingho harus
mewujudkannya dalam sebuah karya-cipta yang tetap?
Berkali-kali
Motingho membuka-pasang kacamatanya, meyakinkan pandangannya apakah ia yang
salah lihat. Tapi tidak. Molinggih benar-benar sudah berubah, sebagaimana
perempuan kebanyakan yang gampang ditemukan di mall dan plaza. Sungguh,
Motingho merasa putus asa. Ia sengaja dulunya memilih Molinggih sebagai
modelnya karena gadis itu masih menyisakan suaka imajinasi bagi perempuan
kampung yang sederhana. Tapi, semuanya berubah dalam waktu singkat. Molinggih,
model yang ia harapkan setia kini tak lagi setia. Perempuan itu lebih banyak
menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Jauh di dalam hati, ingin sekali
Motingho memecat perempuan tak tahu diri itu, dan mengusirnya pergi jauh-jauh.
Tapi sudah tak mungkin. Dalam hidupnya yang sudah pikun (dan di ambang ajal),
hanya Molinggih orang satu-satunya yang ia harapkan sebagai pendamping, sekaligus
model terakhir. Sedangkan orang lain sudah tidak peduli. Ke-maestro-an dirinya
bagai terkubur hingar-bingar kota Basebah yang terus berpacu tubuh.
Tapi Motingho
tak mau menyerah. Berhari-hari, berbulan-bulan, patung itu ia kerjakan. Dan tak
jadi-jadi. Sampai suatu ketika, di antara sesak nafasnya (pertanda ajal segera
tiba), tangannya yang lemah berhasil mencipta sesosok perempuan yang baginya
teramat mempesona. Saking terpesonanya ia, seolah nyawa yang sudah meloncat
dari badannya, berbalik kembali (lewat matanya yang bercahaya), hanya untuk
menyaksikan buah karya terakhirnya itu. Barangkali malaikat pencabut nyawa pun
terpesona sehingga memberi kesempatan bagi Motingho untuk mengelus-elus buah
karya terakhirnya itu.
''Oh, ajaib, masterpiece, Molinggih,
lihatlah kemari. Telah tercipta patung terbaik di tanganku meski belum
sepenuhnya selesai!'' Sisa tenaganya dipergunakan memanggil Molinggih.
Perempuan itu datang tergesa, dan betapa terkejutnya ia. Matanya terbelalak.
Marah dan kecewa. Ditatapnya patung perempuan berkulit hitam, berambut keriting
dan teramat gemuk itu. Ia tersinggung, sungguh tersinggung!
''Oh, tuan Motingho benar-benar
sudah pikun. Ini bukan patung tercantik yang pernah saya lihat, tuan
mempermalukan saya.''
''Molinggih, dengar! Saya tidak
menciptakan patung tercantik, tapi patung terbaik!'' Motingho terbatuk. Makin
keras. Tubuhnya terguncang, lalu rebah. Tapi matanya memancarkan sinar bahagia.
Betapa ia sudah menciptakan patung terbaik menurut seleranya. Malaikat pun
pasti merestui, menyetujui, meski tidak Molinggih.
Perempuan itu
malah sangat kecewa. Karenanya, Molinggih hanya mencium sedikit saja pelupuk
mata Motingho yang terkatup dengan bulu-bulu putih itu, sekadar basa-basi, lalu
seperti tak hirau pada kematian itu ia berlari menuju kolam. Berkaca. Merasa
sia-sia. Dari tubuhnya yang cantik, ternyata hanya lahir sebuah patung gemuk,
berkulit hitam kisut dan rambut keriting. Ia kecewa. Ia lari ke pinggir telaga.
Berkaca dan menangis sampai tiba purnama. Dan kekecewaanlah yang membuatnya
memutuskan terjun ke dalam telaga, bagai hendak meraih bulan di jauh dasar. Dan
terbenam. Tapi arwahnya menyusup diam-diam ke dalam patung perempuan yang belum
selesai diciptakan. Perempuan yang akan selalu menyempurnakan kecantikannya,
gentayangan dari plaza ke plaza, salon, dan etalase kota. Tentu, sesekali, ia
akan menyapa Anda, atau Anda yang menyapa mereka. Terserah.
(Cerita kangen untuk Ole, Riki,
Pak Doel, dan Pak Agus Darminto)
Rumahlebah Yogyakarta
Rumahlebah Yogyakarta
2.2
Analisis Cerpen “Pematung Tua dan Perempuan
yang Belum Selesai Diciptakan”, karya
Raudal Tanjung Banua.
Pada cerpen
yang berjudul “Perempuan yang Belum Selesai Diciptakan” karya Raudal tanjung
Banua ini menceritakan seorang pemahat Motingho yang tinggal di sebuah desa
bernama Lembah Basebah. Di desa tersebut masyarakat sangat bergantung dengan
keadaan alam yang ada, terutama bagi para perempuan. perempuan yang tinggal di
desa Lembah Basebah sangat pandai memanfaatkan kekayaan alam yang ada seperti
menyemai benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur,
sampai pekerjaan yang biasa di lakukan oleh kaum laki-laki seperti mendulang
emas di sungai, seperti pada kutipan berikut:
Apalagi perempuan-perempuan Lembah Basebah adalah tipe perempuan yang suka
bekerja daripada bicara. Bekerja apa saja, sesuai keadaan alam Lembah Basebah,
menyemai benih-benih padi di hamparan sawah, memetik sayur-mayur yang subur,
atau mendulang emas di sungai kecil di ujung kampung.
Perempuan yang
tinggal di daerah tersebut di ceritakan, tipe perempuan yang tidak seperti
perempuan-perempuan pada umumnya yang
banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat salah
satunya seperti menggosip, mencari kutu, atau menghabiskan uang suami dengan
berbelanja pakaian sampai alat mak-eup
di mall-mall. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang tinggal di daerah
Lembah Basebah yang lebih senang menghabiskan banyak waktu dengan kegiatan atau
aktivitas-aktivitas yang sangat bermanfaat. Untuk bercermin saja para perempuan
Lembah Basebah hanya memanfaatkan air
yang berada di tepian telaga. Aktivitas yang biasa di mulai para perempuan
Lembah Basebah adalah dari pagi hingga saat matahari hampir terbenam. Seperti
pada kutipan:
Ya, perempuan Lembah Basebah memang tipe
perempuan pekerja. Jarang sekali mereka mau menghabiskan hari dengan mencari
kutu di tangga atau jenjang rumah sambil bergunjing menyebut nama-nama. Tidak.
Mereka lebih senang menghabiskan hari di sawah-ladang, berangkat pagi-pagi
benar, dan pulang di kala petang, saat matahari hampir terbenam. Bahkan tak ada
waktu untuk berdandan. Barangkali saja mereka tak punya ruang rias, bahkan
mungkin sepotong cermin, buat mematut diri. Paling hanya di tepian yang berair
jernih mereka sesekali iseng menatap diri, atau di telaga sehabis lelah
bekerja.
Di gambarkan
pada cerpen ini, perempuan-perempuan Lembah Basebah memiliki kecantikan alami
sehingga seorang pemahat tua memiliki keinginan untuk membuat patung yang
terbuat dari kayu, semen, tanah liat, kulit kayu, jerami sehingga memiliki ciri
khas yang berbeda dengan patung-patung lain. Jika dikaitkan dengan pendekatan
ekologis atau ekokritik yaitu hubungan sang pemahat yang menggunakan hasil dari
kekayaan alam untuk di jadikan sebuah karya. Seperti pada kutipan:
Termasuk soal kecantikan. Dalam kesederhanaan, kecantikan terasa lebih
abadi. Jadilah patung Motingho tidak sekadar antik, namun juga cantik. Apapun
bahannya - kayu, semen, fiberglass, tanah liat, sabut kelapa, kulit kayu,
jerami, apapun asal diolah tangan
Motingho, pasti menawan. Pinggul yang ramping, payudara busung padat berisi,
betis bagai padi bunting, dan leher yang jenjang, menjadi ciri khas
patung-patung Motingho.
*
Namun lambat-laun, banyak di antara pengunjung memutuskan untuk tinggal
menetap. Sejak itu, banyak villa didirikan. Lalu rumah-rumah mewah. Lalu
jalanan yang bersimpang siur. Pertokoan yang bertingkat-tingkat. Dan pasar seni
yang diperbesar.
Kini, Lembah Basebah telah menyatu sepenuhnya dengan kota, bahkan telah
menjadi kota. Tak ada lagi tapal batas, seperti dulu dipelihara dan dirawat,
sebuah patung perempuan dalam gaya tradisional, berkemben, dengan keranjang
sayur-mayur di punggung, dulu masih akan menyambut kedatangan siapa saja.
Itulah tanda bahwa Anda telah memasuki wilayah Lembah Basebah, yang terkenal
dengan perempuan-perempuannya yang rajin, ramah, sederhana, dan tentu juga
cantik. Dan maestro Motingho menuangkannya ke dalam wujud patung yang berjiwa
dan hidup. Tapi, patung di tapal batas itu sudah lama tidak ada. Entah tergusur
dan lenyap ke mana.
Pada kutipan di
atas di jelaskan mengenai perubahan yang terjadi saat Lembah Basebah yang masih
dihuni hanya beberapa penduduk dengan saat ini yang telah banyak pendatang.
Perubahan yang mencolok adalah banyak di bangun rumah-rumah mewah, jalanan yang
semakin banyak, dan pertokoan yang bertingkat. Sehingga pengarang menggabarkan
kerinduannya terhadap sebuah desa yang bergaya tradisional.
Demikianlah, kini
Motingho sudah tua. Sementara Lembah Basebah makin nyata berubah. Alamnya yang
indah dan tradisinya yang menawan (dengan upacara-upacara eksotik) membuat
banyak orang bagai menyerbu tempat itu. Mula-mula mereka cukup datang semalam
dua malam dan pulang membawa oleh-oleh patung perempuan Lembah Basebah karya
Motingho, si maestro, ataupun patung-patung tiruan serupa.
Pada kutipan di atas di gambarkan bahwa dengan berjalannya waktu banyak
perubahan yang terjadi di daerah Lembah Basebah, yang mulanya masih sangat
alami dan masih di huni beberapa penduduk namun kini banyak pendatang yang
kemudian menjadi penduduk tetap Lembah Basebah. Lembah Basebah memiliki alam
yang indah dan tradisi yang masih kental.
Dahulu perempuan hanya menjalankan aktivitas di ladang, kini para
perempuan banyak yang beralih pekerjaan. Hanya beberapa perempuan saja yang
masih tetap bekerja di ladang, sawah atau tambang. Dengan banyaknya perubahan
membuat sang pemahat Motingho sulit untuk menemukan inspirassi untuk pembuatan
patung yang masih serba alamiah atau natural. Seperti pada kutipan berikut:
Lembah Basebah kini sudah sedemikian padatnya. Bagai wilayah tak berpeta,
membuat siapapun gampang tersesat mencari nama dan alamat yang barangkali telah
berubah. Perempuan-perempuannya sudah banyak yang beralih pekerjaan; di
art-shop, kafe, lapangan golf, restoran, supermarket, menjadi guide dan entah
apalagi. Hanya sebagian kecil yang masih bekerja di sawah, ladang atau tambang.
Sebagian lain tersingkir hidup ke perantauan atau ikut program transmigrasi.
Apa boleh buat. Maka tak perlu diragukan lagi, hal itu membuat Motingho yang
telah kakek-kakek kehilangan mata air imajinasi. Dan tanpa imajinasi, seorang
seniman sejati tentu akan mati, bukan?
Di ceritakan
suatu ketika saat pemahat tua itu merasakan bahwa usianya tidak akan lama lagi,
hingga ia berkeinginan untuk membuat patung terakhir yang sesuai dengan yang ia
inginkan dengan menggunakan seorang gadis cantik yang masih alami, namun karena
gadis tersebut menginginkan hasil patung dirinya sempurna hingga akhirnya gadis
tersebut perlahan mengubah semua yang terdapat di dalam dirinya. Hingga sang
Motingho tidak lagi mengenali gadis tersebut. Semakin cantiknya Molinggih tidak
berarti Molingho menyukai penampilannya, Molingho tetap menyukai penampilan
Molinggih yang alami dan apa adanya.
Molingho tetap
membuat patung yang sesuai keinginannya yaitu membuat patung yang berkulit
hitam, gemuk, berambut kriting. Molinggih sangat terkejut melihat hasil patung
sang pemahat hebat tersebut, ia merasa kecewa hingga akhirnya ia berlari ke
pinggir telaga kemudian berkaca. Karena kekecewaannya terhadap hasil patung
terssebut ia kemudian terjun ke dalam telaga.
Perempuan itu malah sangat kecewa. Karenanya, Molinggih hanya mencium
sedikit saja pelupuk mata Motingho yang terkatup dengan bulu-bulu putih itu,
sekadar basa-basi, lalu seperti tak hirau pada kematian itu ia berlari menuju
kolam. Berkaca. Merasa sia-sia. Dari tubuhnya yang cantik, ternyata hanya lahir
sebuah patung gemuk, berkulit hitam kisut dan rambut keriting. Ia kecewa. Ia
lari ke pinggir telaga. Berkaca dan menangis sampai tiba purnama. Dan
kekecewaanlah yang membuatnya memutuskan terjun ke dalam telaga, bagai hendak
meraih bulan di jauh dasar. Dan terbenam. Tapi arwahnya menyusup diam-diam ke
dalam patung perempuan yang belum selesai diciptakan. Perempuan yang akan
selalu menyempurnakan kecantikannya, gentayangan dari plaza ke plaza, salon,
dan etalase kota. Tentu, sesekali, ia akan menyapa Anda, atau Anda yang menyapa
mereka. Terserah.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Setelah mengkaji melalui pendekatan ekologis
atau ekokritik, maka dapat disimpulkan
bahwa ekosistem dan alam memiliki ruang tersendiri dalam kajian sastra seperti
yang telah dijelaskan bahwa alam memiliki keterkaitan dan hubungan dengan
tokoh-tokoh dalam cerpen “Perempuan yang belum Selesai Diciptakan” karya Raudal
tanjung banua dipandang dari tiga aspek; terbukti bahwa dalam cerpen tersebut
secara jelas penulis telah menggabungan antara manusia dan alam, baik dengan
memberikan penjelasan perbandingan, maupun hubungan keduanya. Pada bagian akhir
cerita, penulis menceritakan bahwa tokoh
utama kembali menemukan jati dirinya dan keindahan yang sejati lewat pahatan
terakhirnya yang benar-benar cantik bukan hanya dari luar tetapi juga dalam.
Pahatan yang dibuat oleh tokoh utama
sesuai dengan yang tokoh utama inginkan serta memberi pesan bahwa keindahan
alam yang alami merupakan sebenar-benarnya keindahan dan bukan keindahan yang
dibuat-buat dengan berbagai macam polesan dan tipuan.
3.2
Saran
Untuk mempelajari sebuah karya sastra dengan metode tertentu memang tidak
mudah, akan tetapi kita harus mampu membaca makna yang terkandung di dalam isi
karya sastra tersebut. Untuk itu cara yang mudah untuk mencari makna dari
sebuah cerita, maka harus di lakukan cara analisis.